Nilai tukar mata uang akan selalu mengalami perubahan, baik itu menguat ataupun menurun. Tak terkecuali dengan mata uang dari Indonesia yaitu Rupiah. Dalam dua pekan terakhir, Rupiah sedang mengalami keterpurukan. Mata uang garuda ini tidak pernah naik lagi dalam sebelas hari, dalam rincian melemah sebanyak 9 kali dan stagnan sebanyak dua kali. Pelemahan dalam nilai rupiah ini berada di level terlemah dengan kemerosotan sebanyak 1,2%.
Mata uang rupiah mengalami kemerosotan seperti pantauan pasar spot Bloomberg yaitu sebesar -26 poin atau -0,18% di harga Rp14.373 per 1 Dolar AS. Tak hanya Indonesia, Jepang pun juga mengalami penurunan sebesar -0,24% di 113,03, Baht Thailand sebesar -0,31% di 38.825, Ringgit Malaysia longsor sebanyak -0,11% di 4,2225, Yuan China terpuruk sebesar -0,04% di 6,3696, Dolar Taiwan sebesar -0,13% di 27.723, dan masih banyak lagi. Selain itu, sisanya mengalami penguatan seperti Dolar Australia yang melesat 0,16% di 0,7116 serta Dolar Singapura yang mengalami kenaikan sebesar -0,06% di 1,3644.
BACA JUGA: 30+ Contoh Usaha Kecil-Kecilan Yang Menghasilkan Dari Rumah
Sebab menurunnya rupiah
Ada dua hal yang membuat rupiah semakin berat, yaitu adanya virus corona varian terbaru yaitu Omicron dan juga normalisasi kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) yang semakin agresif. Tapering atau yang disebut juga dengan pengurangan nilai program pembelian aset sedang dilakukan oleh The Federal Reserve System (bank sentral Amerika Serikat) sebesar US$ 15 miliar mulai bulan November lalu, dan berlangsung setiap bulan.
Sebanyak US$ 120 miliar dijadikan sebagai pengurangan nilai program pembelian aset, dan akan membutuhkan waktu kurang lebih delapan bulan untuk menyelesaikan hal tersebut. Itu berarti, kondisi ini membutuhkan waktu selesai sekitar tahun depan pada bulan Juni.
Hal ini menyebabkan adanya inflasi besar-besaran dalam perekonomian di berbagai negara di belahan dunia. Pejabat elit dari The Fed pun menginformasikan bahwa tapering akan diusahakan untuk dipercepat agar inflasi yang sedang terjadi dapat segera teredam. Seperti yang dikatakan oleh salah satu pejabat dari The Fed, Jerome Powel, sebagai berikut.
“Perekonomian dunia pada masa sekarang ini sangat kuat dan inflasi perekonomian juga sangat tinggi. Maka dari itu, menurut pandangan saya, akan tepat jika mempertimbangkan menyelesaikan tapering lebih cepat. Tapering mungkin akan berakhir beberapa bulan lebih awal,” kata Powell di hadapan Senat AS, sebagaimana diberitakan pada CNBC International, Selasa (30/11).
Tak hanya itu, pejabat dari The Fed juga menuturkan bahwa bulan ini akan diadakan pembahasan terkait nilai program pembelian aset yang dipercepat. Beliau berharap bahwa percepatan tapering akan didiskusikan oleh The Fed pada bulan Desember tahun ini dan akan diadakan pula rapat untuk membahas kebijakan moneter pada 14-15 Desember 2021. Oleh sebab itu, diharapkan untuk nilai rupiah menguat dan harus berjuang sangat keras sebelum adanya pengumuman tentang hasil kebijakan moneter tersebut.
BACA JUGA: Ini Contoh Proposal Usaha atau Bisnis yang Benar Bagi Investor