Konsumen Video Chat Sex (VCS) Bisa Dipidana? Cek Di sini!

VCS adalah singkatan dari video call sex, yaitu panggilan video yang berisi muatan seksual. VCS masuk dalam kategori sexting yang secara umum meliputi kegiatan saling berkirim pesan dengan muatan gambar, suara, kata, atau video yang sugestif atau eksplisit secara seksual.  

Apakah kegiatan ini ilegal? Bagaimana pandangan hukumnya di Indonesia dan bisa seseorang terjerat pasal tertentu saat melakukannya? Ulasan lengkapnya ada di bawah, Sedulur. 

BACA JUGA: 8 Fakta & Arti Sugar Daddy dan Sugar Baby, yang Sempat Viral

1. VCS dan tren yang berkembang 

vcs
Pexels

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, VCS adalah sejenis video call yang isinya eksplisit dan sugestif mengarah pada aktivitas seksual. Hal ini normal dan bisa dianggap bukan masalah bila dilakukan pasangan yang memang telah melakukan konsensus bersama. Nah, dengan definisi legal tersebut munculah tren open VCS. Layanan VCS berbayar seperti ini mirip dengan prostitusi daring yang biasanya dicari pelanggannya dengan kata kunci open booking out atau yang disingkat open BO. 

Keduanya sama-sama menawarkan jasa layanan seks berbasis promosi media sosial dan pesan singkat. Bedanya, prostitusi daring akan mempertemukan langsung pemilik jasa dengan pengguna. Sementara, VCS hanya berbasis video, gambar, atau percakapan yang dikirim menggunakan aplikasi pesan singkat. Salah satu yang paling populer adalah Whatsapp dan mungkin Telegram. Fakta bahwa kedua pihak tidak memiliki kesempatan untuk bertatap muka langsung dianggap sebagai opsi yang lebih aman. Benarkah? 

2. Pasal tentang VCS di Indonesia 

Pexels

Di Indonesia, VCS bisa dikaitkan dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Ini karena ia punya potensi mengandung muatan eksplisit seperti berikut. 

  • Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang 
  • Masturbasi 
  • Ketelanjangan atau menampilkan kesan telanjang
  • Alat kelamin 
  • Kekerasan seksual 
  • Pornografi anak 

Di samping itu, UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang dikenal luas dengan UU ITE juga bisa menjerat pembuat dan penikmat konten-konten eksplisit tersebut. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 45 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut. 

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam penjelasan di dokumen publikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika, ada beberapa pengertian tentang istilah yang disebutkan, yaitu. 

  • “Distribusi” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang  melalui sistem elektronik.
  • “Transmisi” adalah mengirim informasi dan/atau dokumen elektronik kepada satu pihak lain lewat sistem elektronik. 
  • “Membuat dapat diakses” berarti semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui publik atau pihak lain (di luar pihak yang terlibat). 

Namun, di sini tidak dijelaskan apa definisi tindakan asusila tersebut. Ini yang kemudian disorot lembaga riset independen Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Disertai dengan kemungkinan revisi agar bisa memfasilitasi bila salah satu pihak yang terlibat dalam pembuatan konten tersebut tidak tahu atau tidak menyetujui tindak distribusi atau penyebarluasan. 

BACA JUGA: Pengertian & Jenis Muamalah Lengkap dengan Tujuannya

3. VCS yang dianggap legal 

vcs
Pexels

Merujuk pada pasal-pasal tersebut, maka ada beberapa kondisi yang membuat VCS legal atau diperbolehkan. VCS baik konten atau aktivitasnya harus memenuhi syarat sebagai berikut agar tidak dipidana. 

  • Dilakukan dengan persetujuan kedua pihak yang terlibat, melalui proses konsensus dan tidak ada paksaan, ancaman, dan manipulasi di dalamnya. 
  • Kedua pihak sudah cukup usia, bukan anak di bawah umur. Berdasarkan UU Nomor.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia , usia dewasa seseorang di Indonesia adalah 18 tahun sehingga usia di bawahnya dianggap sebagai anak-anak. Namun, dalam urusan pidana dan perdata usia legal seseorang dalam hukum adalah 21 tahun atau sudah menikah seperti yang termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 
  • Digunakan untuk konsumsi pribadi atau tidak disebarluaskan lewat media apapun. 

4. Jenis VCS yang termasuk melanggar hukum 

Pexels

Dalam kasus VCS WA yang berbayar pengguna maupun pemilik jasa bisa saja terjerat pasal. Ini karena kata “transmisi” yang berarti mengirimkan data ke satu pihak. Meski tidak disebarluaskan, kata ini bisa jadi senjata makan tuan untuk penyedia jasa dan pengguna layanan VCS berbayar. Mengingat biasanya akan ada percakapan dua arah yang terjadi sehingga kedua pihak sama-sama melakukan transmisi tersebut. Hal ini menihilkan syarat konsensus yang sebenarnya bisa melegalkan kegiatan ini. Kegiatan ini pun akan makin memberatkan pengguna dan penyedia jasa bila ada bukti transaksi keuangan yang dilakukan. 

5. VCS yang berupa konten pornografi anak 

vcs
Pexels

Beberapa waktu lalu terungkap kasus VCS yang berunsur pornografi anak. Modusnya adalah merayu atau menyuap pengguna game online yang berusia di bawah umur untuk mengirimkan video atau PAP bermuatan seksual. Arti PAP sendiri adalah singkatan dari post a picture yang berarti korban boleh mengirim konten berupa foto-foto sugestif. Si predator ini mengiming-imingi korbannya sebuah token yang bisa dipakai untuk bermain game. Mengingat anak-anak memiliki keterbatasan finansial karena masih tergantung pada uang saku orang tua, beberapa pihak pun memanfaatkannya untuk meraup kepuasan pribadi. 

Modus semacam ini sudah sering dilakukan para predator seksual dengan korban anak-anak atau pedofilia di berbagai negara. Biasanya pelaku merupakan orang dewasa laki-laki yang sudah mapan secara finansial dan menyuap korbannya dengan barang-barang yang mereka inginkan. Sebagai gantinya, anak-anak tersebut diminta untuk mengirimkan video dan foto eksplisit atau bahkan melakukan panggilan video langsung dengan pelaku.

BACA JUGA: Jangan Tertipu, Ini Ciri Pinjaman Online Ilegal & Cara Lapornya

6. VCS bisa dianggap sebagai sextortion bila berunsur paksaan 

vcs
Pexels

Cara VCS lainnya yang tak kalah ampuh adalah mengancam korban dengan video mereka sendiri. Predator biasanya akan menyimpan atau merekam panggilan video dan konten-konten yang dikirim korban. Tidak hanya dikonsumsi pribadi, mereka bisa saja menjualnya, bahkan menjadikannya alat untuk terus memanipulasi korban. Caranya dengan mengancam akan menyebarluaskan video tersebut ke publik, terutama orang-orang terdekat korban. 

Jika ini terjadi maka seseorang bisa dijerat dengan pasal . Isinya sebagai berikut. Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

Sanksi pidananya adalah penjara penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) seperti yang diatur dalam Pasal 82 ayat 1 di UU yang sama. 

Namun, belum ada peraturan khusus yang mencantumkan kewajiban negara memberikan pendampingan khusus pada korban. Utamanya anak-anak. Inilah yang berusaha diwujudkan lewat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang hingga kini masih dibicarakan di DPR. 

7. Bahaya VCS untuk anak-anak di bawah umur 

Pexels

Masalah lain yang mengintai anak-anak adalah kemudahan akses bagi mereka untuk menyewa atau membeli konten VCS lewat berbagai platform. Tarif layanan VCS bisa dibilang cukup murah dan ternyata banyak anak di bawah umur yang memanfaatkannya. Ini tentu berbahaya untuk tumbuh kembang anak.

Menurut American Bar Association, berikut bahaya pornografi bagi anak-anak antara lain.

  • Bisa membentuk perilaku menyimpang karena menganggap kekerasan seksual sebagai hal yang normal.
  • Meningkatkan kecenderungan mereka untuk tidak menghargai perempuan mengingat dalam konten pornografi perempuan selalu dalam posisi direndahkan dan diobjektifikasi. 
  • Tidak mengenal batas dan persetujuan dalam hubungan seksual karena sering melihat konten-konten pornografi yang tidak realistis dan cenderung mengandung unsur paksaan. 
  • Bisa memicu kecanduan pada konten eksplisit. Apalagi VCS di WA sangat mudah diakses dan tarifnya rendah. 

Untuk itu, Sedulur perlu melakukan pencegahan dengan cara-cara berikut. 

  • Berkomunikasi secara rutin dengan anak, berikan perhatian yang cukup dan tanyakan aktivitas harian mereka. Kebanyakan korban pelecehan seksual anak adalah anak-anak yang kurang perhatian atau memiliki self-esteem rendah, sehingga mereka mudah dimanipulasi dengan pujian dan perhatian yang sebenarnya tidak tulus. 
  • Jadikan rumah tempat yang nyaman agar anak tidak mencari penghiburan atau perhatian lebih dari luar. 
  • Batasi dan awasi penggunaan gawai yang bisa mengakses internet. Cek ponsel pribadi mereka secara rutin. 
  • Berikan edukasi seksual yang tepat dan bekali mereka dengan prinsip yang kuat, termasuk untuk tidak mudah mempercayai orang yang dikenal lewat dunia maya. 
  • Ajak mereka untuk melakukan kegiatan yang positif seperti kursus keterampilan, olahraga, berwisata ke tempat baru, dan lain sebagainya. Buat mereka sibuk dan produktif dengan cara yang menyenangkan, aman, dan sesuai dengan usia mereka. 

Itu dia beberapa hal penting tentang VCS yang wajib Sedulur waspadai. Yuk, lebih bijak menggunakan internet.