Kisah Wali Songo tampaknya memang selalu menarik untuk disimak. Perjalanan kesembilan wali menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa penuh dengan cerita menarik dan banyak pelajaran berharga yang bisa diambil. Salah satunya adalah cerita Sunan Kudus dalam melakukan syiar agama Islam di Pulau Jawa.
Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah Sunan Kudus. Beliau juga merupakan salah satu pemuka agama yang masih menghormati budaya setempat saat menyebarkan ajaran agama Islam. Salah satu bukti ajaran dari beliau adalah adanya peninggalan masjid di Kudus.
Kira-kira apa saja ajaran beliau yang bisa kita pelajari? Simak lengkapnya di bawah ini!
BACA JUGA: Kerajaan Kediri: Sejarah, Masa Kejayaan, dan Masa Keruntuhan
Silsilah keluarga
Dilansir dari Tirto.id, Sunan Kudus memiliki nama asli Ja’far Shadiq. Ia adalah salah satu alumni santri paling tersohor di Pesantren Ampeldenta yang didirikan oleh Sunan Ampel.
Ja’far Shadiq lahir dari keluarga bangsawan Kerajaan Demak. Ayah Sunan Kudus adalah Usman Haji bin Ali Murtadha, saudara kandung Sunan Ampel dan ibunya bernama Nyai Anom Manyuran.
Semasa hidupnya, ayah Sunan Kudus merupakan seorang senopati atau panglima Kerajaan Demak. Sayangnya, sang ayah gugur saat terlibat dalam pertempuran melawan Kerajaan Majapahit.
Tak hanya berdarah biru, jika ditarik lebih jauh lagi, jalur keturunannya sampai ke nasab Nabi Muhammad SAW melalui jalur Husain bin Ali RA.
BACA JUGA: Sejarah Sunan Muria, Berdakwah dengan Kesenian Budaya
Cara berdakwah Sunan Kudus
Setelah sang ayah meninggal dalam perang, Ja’far Shadiq menggantikan posisi sang ayah menjadi panglima Kerajaan Demak dan bertujuan memperluas daerah kekuasaan. Saat di posisi inilah, dirinya mulai melakukan kegiatan untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.
Selama menjadi Senopati, beliau ternyata juga menjadi imam Masjid Agung Demak. Hal ini semakin memudahkan beliau untuk menyiarkan ajaran agama Islam.
Sayangnya, saat terjadi konflik internal di Kerajaan Demak, Sunan Kudus lebih memilih pergi meninggalkan Demak dan kemudian pindah ke daerah bernama Tajug.
Di Tajug inilah, beliau secara penuh tidak lagi aktif di dunia politik dan memilih menjadi penceramah, serta fokus menyebarkan dakwah Islam.
BACA JUGA: Kisah Sunan Kalijaga yang Berdakwah Lewat Media Wayang
Alih-alih menggunakan cara yang saklek, beliau lebih memilih cara yang lebih halus, yakni tetap menjunjung tinggi kebudayaan-kebudayaan masyarakat sekitar. Strategi dakwah yang ia lakukan adalah mengelaborasi ajaran agama Islam dengan seni dan budaya masyarakat di zaman tersebut.
Dilansir dari Tirto.id, Sunan Kudus tak lantas melarang kepercayaan animisme dan dinamisme, ataupun sebagian masyarakat yang masih menganut agama Hindu dan Budha. Beliau melakukan berbagai pendekatan dengan menjunjung tinggi toleransi agama.
Salah satunya adalah saat Sunan Kudus membeli seekor sapi yang sangat besar dan disebut sebagai kebo gumarang. Beliau kemudian membuat sebuah kandang untuk sapinya di pekarangan rumahnya. Hal ini pun mencuri perhatian pada warga sekitar yang pada zaman itu mayoritas beragama Hindu.
Dalam agama Hindu, sapi adalah salah satu hewan yang disucikan karena dipercaya sebagai tunggangan para dewa. Melihat celah itu, beliau pun mengatakan kepada masyarakat bahwa sapi tersebut adalah peliharaannya dan jangan sampai ada yang menyakiti. Beliau mengaku merawat sapi sebagai wujud rasa terima kasih karena di masa lalu sempat ditolong seekor sapi dalam keadaan bahaya.
BACA JUGA: Kerajaan Samudera Pasai: Sejarah, Kejayaan & Peninggalannya
Mendengar pengakuan Sunan Kudus, sebagian masyarakat Hindu percaya bahwa beliau adalah titisan Dewa Wisnu. Sebagian lagi semakin tertarik dengan dakwah-dakwah beliau dan mau mendengarkan lebih banyak.
Tak hanya ditujukan kepada umat Hindu, ajaran beliau lainnya ada pula yang ditujukan untuk umat Budha. Beliau membuat sebuah tempat wudhu sejumlah 8. Pada kedelapan tempat wudhu tersebut diberi arca Kebo Gumarang, yang dihormati pada pemeluk agama Budha. Akhirnya banyak umat Budha yang penasaran sehingga mau masuk ke masjid dan mendengarkan ceramah Sunan Kudus. Sampai akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam.
Membuat bangunan dengan gaya arsitektur perpaduan
Tak hanya menyebarkan ajaran agama Islam lewat perbuatan sehari-hari, Sunan Kudus juga menggunakan cara dakwah dengan memperlihatkan gaya arsitektur perpaduan antara Hindu dan Islam.
Sunan Kudus membangun sebuah bangunan yang merupakan perpaduan antara corak Hindu dan Islam, yakni Menara Kudus yang berada dalam komplek Masjid Kudus.
Meski gencar menyebarkan ajaran agama Islam, Sunan Kudus tak lantas memaksa pemeluk agama atau kepercayaan lain untuk mengikuti ajarannya. Beliau tetap menjunjung tinggi toleransi beragama. Sehingga masyarakat yang belum memeluk Islam saat itu menjadi kagum dan segan terhadap beliau.
Hingga akhirnya sebagian besar masyarakat tersebut dengan sukarela mendengarkan dakwah Sunan Kudus, dan ada pula yang sukarela untuk memeluk agama Islam.
BACA JUGA: Sejarah Sunan Bonang yang Berdakwah Melalui Gamelan
Sejarah Kota Kudus di masa Sunan Kudus
Seperti sempat disebutkan di atas, saat Kerajaan Demak mengalami konflik internal, Ja’far Shadiq memutuskan pindah ke sebuah kawasan bernama Tajug.
Dalam perjalanannya, kawasan Tajug pada akhirnya berganti nama menjadi Kudus. Hal ini tentu merupakan pengaruh besar dari Ja’far Shadiq, sehingga ia pun mendapat julukan Sunan Kudus.
Nama Kudus sendiri diambil dari kata Al-Quds, sebuah kota suci yang berada di Yerusalem.
BACA JUGA: Kisah dan Sejarah Sunan Ampel: Ajaran Moh Limo
Peninggalan
Sepanjang perjalanan beliau menyebarkan agama Islam di wilayah Kudus, tentu ada banyak sekali peninggalan. Ada yang hingga saat ini masih kita kenal. Salah satunya adalah upacara adat mitoni. Mitoni adalah sebuah upacara adat sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas dikaruniai seorang anak. Biasanya upacara ini dilakukan saat usia kandungan menginjak 7 bulan.
Dulunya, umat Hindu dan Budha melakukan upacara mitoni dengan menyembah patung dan arca. Beliau kemudian meluruskan makna mitoni yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Tak hanya upacara adat mitoni, peninggalan lain beliau antara lain Masjid Menara Kudus, Keris Cinthaka, senjata berbentuk trisula, Tembang Maskumambang dan Mijil.
Setelah beberapa tahun menjadi pemuka agama dan pendakwah ajaran agama Islam di Kudus, Sunan Kudus pun tutup usia. Menurut berbagai sumber, beliau meninggal pada tahun 1500. Beliau meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. Makam Sunan Kudus terletak di komplek Masjid Al-Aqsha Menara Kudus.