Sejarah Hari Ibu 22 Desember, Perjuangan Pahlawan Wanita Indonesia

Hari Ibu adalah peringatan universal yang dirayakan semua orang di dunia. Bedanya ada pada tanggal, nih. Di Indonesia, Hari Ibu Nasional ditetapkan pada 22 Desember tiap tahunnya. Beda dengan mayoritas negara lain yang merayakannya pada bulan Mei atau bahkan Februari di negara-negara Skandinavia.

Meski berbeda-beda, esensi perayaannya sama, kok. Menghargai jasa dan pengorbanan seorang ibu. Di beberapa negara, Hari Ibu dijadikan satu dengan Hari Perempuan dengan alasan ibu atau tidak, perempuan punya tempat spesial di masyarakat dan patut dapat penghargaan. 

Nah, bagaimana sih sejarah penetapan tanggal ini? Yuk, langsung cari tahu sejarah Hari Ibu di Indonesia. Biar di hari-H nanti Sedulur tak hanya sekedar ikut seru-seruan, tetapi makin mengena perayaannya. 

BACA JUGA: 18 Tokoh Pahlawan Nasional Indonesia dan Sejarah Perjuangannya

1. Sejarah Hari Ibu berakar dari Kongres Perempuan Indonesia I

hari ibu
indoleft.org

Melansir dari liputan Tirto, Kongres Perempuan Indonesia I diselenggarakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Pesertanya ada sekitar 600 orang merujuk pada laporan yang ditulis Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datok Toemenggoeng, istri Datoek Toemenggoeng. Dari laporan acara tersebut terlihat bahwa para pesertanya kebanyakan adalah istri tokoh-tokoh perjuangan yang juga aktif dalam organisasi dan serikat nasional. 

Kongres tersebut menyinggung nilai-nilai emansipasi dan feminisme, termasuk penolakan pada perkawinan anak hingga kritik pada sistem masyarakat patriarki yang sering mengesampingkan serta meremehkan perempuan. Dibahas pula tuntutan dan gagasan agar anak perempuan bisa mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak laki-laki. 

Merujuk pada situs indonesia.go.id, ada tiga hal penting yang menjadi mosi atau tuntutan di Kongres Perempuan pertama ini. Pertama, akses pendidikan yang lebih luas untuk perempuan, dilanjut aturan baru tentang pernikahan agar tidak merugikan pihak perempuan, serta yang terakhir bantuan sosial untuk ibu tunggal dan anaknya yang membutuhkan. 

Hal menarik lainnya di kongres ini adalah nilai sekularisme yang sengaja dihadirkan agar kongres berjalan netral dan minim konflik. Tidak ada nilai agama yang dibawa, bahkan anggota yang merupakan bagian dari organisasi keagamaan tidak diperkenankan menjadi ketua. Semua orang dianggap sama dan punya nilai yang sejalan yaitu memperjuangkan keadilan untuk kaum perempuan tak peduli latar ras dan agamanya. 

2. Kongres Perempuan Indonesia bukan gertakan semata 

semanticscholar.org

Kongres tersebut tak hanya diadakan sekali tanpa gerakan lanjutan. Justru dari situ terbentuklah himpunan perempuan yang awalnya bernama Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI), tetapi kemudian diganti dengan Perserikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). PPII ini yang menjadi perwakilan Indonesia di All-Asian Women’s Conference (AAWC) 1931 yang diselenggarakan di Lahore yang saat itu masih menjadi teritori India. 

Mengutip tulisan Sumita Mukherjee di jurnal Women’s History Review, AAWC merupakan konferensi idealis yang berusaha mengangkat isu feminisme dari sudut pandang perempuan Asia. Selama ini feminisme selalu berakar pada budaya Barat yang diusung perempuan kulit putih. 

Tak berapa lama dari konferensi tersebut, Kongres Perempuan Indonesia II diadakan di Jakarta pada Agustus 1935. Disusul kongres ketiga pada Juli 1938. Isu yang disinggung masih sama, seputar pendidikan serta keadilan dalam pernikahan. Ditambah isu perburuhan yang menunjukkan bahwa makin banyak perempuan yang bekerja di sektor publik.

Dari kedua kongres ini juga muncul kesadaran bahwa perempuan pun punya andil dalam perjuangan kemerdekaan, sama dengan tokoh-tokoh laki-laki. Ini terlihat dari kemunculan tokoh-tokoh perempuan nasionalis yang berani menyuarakan penolakannya pada kolonialisme, seperti Rasuna Said misalnya. 

Kongres Perempuan terakhir terlaksana pada tahun Juli 1941 sebelum kedatangan Jepang ke nusantara. Di konferensi ini, peran perempuan dalam penyelenggaraan pemerintah makin nyata. Isu-isu yang diangkat mengarah pada penambahan kuota tokoh perempuan dalam pemerintah daerah, peran organisasi perempuan dalam menolak militerisasi, serta pengajuan sistem pemerintahan parlementer. Tak lupa kesadaran bahwa perempuan punya peran penting dalam membesarkan generasi-generasi baru yang berwawasan. 

BACA JUGA: Sejarah Hari Pahlawan dan Makna Perjuangan 10 November

3. Dekrit Presiden Tahun 1959 menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu

 

hari ibu
ipsnews.net

 Pergerakan perempuan Indonesia akhirnya diakui oleh pemerintah lewat Dekrit Presiden Nomor 316 pada 1959. Presiden saat itu, Soekarno menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu Nasional. Tanggal tersebut diambil dari waktu penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia pertama yang menjadi awal mula persatuan pergerakan tokoh-tokoh perempuan di tanah air untuk memperjuangkan hak-hak dasar perempuan yang selama ini terabaikan, dimulai dari akses pendidikan dan keadilan dalam pernikahan.

Melansir dari liputan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia, Hari Ibu ditetapkan untuk melengkapi Hari Kartini yang menurut sebagian orang kurang bisa mewakili perjuangan perempuan di luar Jawa. 

4. Makna Hari Ibu 

artblart.com

Penjelasan tentang Hari Ibu tanggal berapa di atas juga bisa jadi wawasan baru untuk para Sedulur dalam memaknai 22 Desember. Ternyata ada perjuangan panjang yang dilakukan leluhur di balik kemudahan akses pendidikan dan hak-hak dasar lain yang bisa kita nikmati sekarang. Tentu keadilan yang ideal untuk perempuan belum tercipta di Indonesia, apalagi keamanan dan kenyamanan di tempat umum masih jadi problem di negeri ini. 

Hari Ibu juga hari di mana Sedulur baik laki-laki maupun perempuan sadar akan pentingnya peran ibu dan perempuan pada umumnya dalam menyuarakan hal-hal yang mungkin tak pernah dipikirkan oleh negarawan laki-laki. Tanpanya, tatanan masyarakat seperti yang bisa kita nikmati sekarang mungkin belum  terwujud. 

Sekarang Sedulur tak hanya tahu kapan Hari Ibu diperingati, tetapi juga paham makna dan sejarahnya yang panjang. Semoga kita bisa merayakannya dengan lebih khidmat dan penuh syukur tahun ini. Diiringi dengan semangat emansipasi yang sama dengan para leluhur yang sudah memperjuangkannya.